Ketika dunia sudah sedemikian cerewetnya, dan kata –kata menjadi laut yang justru kering akan makna.
Ketika semua mulut bicara, di Koran-koran, radio, televisi, mimbar diskusi, yel-yel demonstrasi,
Atau lobi-lobi parlemen, mulai dari menteri, politisi, mahasiswa, seniman,
tukang becak, hingga rohaniawan ternama.
Apa yang tersisa dari sekumpulan puisi? Apa yang bermakna bagi orang-orang yang kian terhimpit
Udara terlalu panasdan langit makin mencekik ketika semua orang mengerti bahwa
Hidup yang mereka jalani kali ini tidak lain adalah sekedar bertahan dalam peradaban
yang tidak lagi member mereka cukup kesempatan.
Kenyataan yang kian hiper-pragmatis, serba oportunistik, materialistis, dan berpikiran pendek ini
Sungguh telah menyudutkan ruang-ruang dimana kita dapat berkomplentasi atau meraih tingkat-
Tingkat meditasi. Ketika ide ide apapun tak lagi berhasil mencapai kedalaman persoalan,
Dan Cuma tertinggal sebagai komoditi murahan atau perangkat kepentingan murahan,
Dimana lagi tempat untuk puisi?
Puisi tinggal berlari-lari. Mencari posisi, mencari makna kata-katanya sendiri, yang luput, yang
Melarikan diri. Lalu sebagian terjerembab, keok, kelelahan, atau terjerat perangkap retorika atau
Propaganda. Seperti yang kita melulu sibuk dengan iklan, promosi, pamphlet, dan bahasa yang hanya
Mampu menyisir permukaan makna, justru sembunyi dalam kata, atau bahkan menggelapkan dirinya
Untuk apa kemudian puisi masih kutuliskan, kukumpulkan? Cuma untuk KEKONYOLAN dan
KEANGKUHAN. Tidak lain. Seraya berharap kecil, waktu kan memprosesnya, menyimpan sambil
Mendewasakannya seiring zaman yang makin matang nanah lukanya. Hingga puisi membeku,
memadat makna, menjadi saksi yang keras; seperti batu.
Batu waktu…





0 komentar :
Post a Comment
kritik dan saran serta komentar yang membangun, sangat kami hargai.